Minggu, 24 April 2011

kontroversi atas karya Hanung

Secara Artistik Film "?" Gagal

alt
Prof. Salim Said, PhD
Kritikus Film, Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Mantan Dubes RI untuk Republik Ceko


Karena diributkan, saya memerlukan-- di tengah kesibukan --menonton film "?" karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo tersebut. Sebagai juri  dalam Festifal Film Indonesia (FFI) yang lalu kami para juri secara aklamasi memilih karya Hanung, Sang Pencerah sebagai film terbaik.  Dan karena itu kami para juri dipecat secara berjamaah oleh panitia FFI.

Saya memang belum menonton semua karya Hanung, tapi dari beberapa yang saya sempat tonton, Sang Pencerah itulah yang saya anggap terbaik. Dalam film tentang KH Ahmad Dahlan tersebut cerita yang ditampilkan jelas, artinya tidak ruwet, tidak disertai cerita-cerita lain yang bersaing dengan kisah dengan Pak Kiyai. Yang ingin dikisahkan adalah tentang KH Ahmad Dahlan. Itu saja. Itupun hanya sepenggal dari hidupnya. Titipan philosofis juga tidak digendong oleh film tersebut. Dengan ketrampilan menulis skenario dan penyutradaan yang teliti dan kreatif, tata artistik yang luar biasa dan kerja sinematografis yang mendekati sempurna, karya Hanung itu memang suatu film hebat. Film itu membuat saya dengan serta merta menempatkan Hanung sebagai satu dari hanya beberapa sutradara terkemuka di Indonesia dewasa ini.

Mungkin justru karena suksesnya dengan Sang Pencerah itulah  Hanung  berambisi  bereksperimen menggunakan film sebagai media penyampaian pesan tertentu. Kalau pada film Pencerah ia mulai dengan niat berkisah mengenai KH Ahmad Dahlan,  maka dalam "?" Hanung mulai dengan sebuah pesan sebelum ia menemukan  cerita untuk mengungkapkan pesannya. Harap diingat bahwa hanya sedikit pembuat film, atau bahkan seniman bidang apa saja, yang bisa berhasil dengan cara kerja demikian. Film-film propaganda yang umumnya dulu banyak diproduksi negara-negara komunis, nasibnya seperti ini. Kebanyakan tidak nikmat ditonton.

Saya kira ini jugalah nasib yang diderita film "?". Yang kita saksikan dalam film ini adalah ambisi besar  Hanung untuk bercerita tentang sejumlah orang dengan macam-macam konflik yang persoalan dasarnya dicoba  diikat ke dalam sebuah tema yang kira-kira bisa dirumuskan sebagai berikut "Agami niku samiki mawon" (agama itu semua sama saja).

Sebuah film propaganda boleh-boleh saja dibuat. After all semua karya seni pada dasarnya adalah propaganda. Tapi harap diingat, tidak semua propaganda berhasil menjadi karya seni.

Saya tidak ingin berdebat dan ikut menilai benar salahnya keyakinan Hanung.  Sebagai kritikus film, bagi saya persoalan yang menyebabkan film ini tidak nikmat ditonton adalah karena secara artistik film ini gagal. Terlalu banyak tokoh dengan sejumlah soal yang tidak jelas akarnya dan tak meyakinkan penyelesaiannya. Ada wanita dari keluarga Muslim yang tidak jelas alasannya tiba-tiba masuk Katolik tapi di rumah  tetap membimbing anaknya belajar membaca doa secara Islami.  Seorang wanita Muslim bekerja dengan tenang pada sebuah restoran Cina yang memasak dan menghidangkan  daging Babi. Seorang yang tinggal di mesjid (setelah kehilangan tempat tinggal) memainkan peran Jesus dalam drama penyaliban pada suatu gereja Katolik setelah diyakinkan  oleh seorang ustadz bahwa perbuatan itu tidak jadi soal.  Pemuda Tionghoa pemilik restoran penjual babi itu yang jatuh cinta pada gadis Muslim yang bekerja di restoranya tapi gagal kawin dengan alasan tidak jelas. Tapi di akhir film sang pemuda Tionghoa masuk Islam. Akhirnya kawin dengan bekas pacanya yang sudah jadi janda -- suaminya yang anggota Banser NU meninggal secara tragis ketika berusaha menghindarkan jemaat gereja dari bom yang  diletakkan di gereja  entah oleh siapa ?  Tidak juga. Jadi apa motifnya masuk Islam? Takut restorannya diserbu pemuda kampung? Atau mendapat hidayah? Semua tidak jelas dan susah ditebak.

Pada awal film seorang pastor Katolik mendadak ditikam di tengah orang banyak di depan gereja oleh seorang pemuda yang tidak jelas identitas serta motifnya. Pokoknya terlalu banyak yang ingin dikisahkan tapi hampir semuanya tidak dijelaskan akar dan asal usul persoalannya demikian pula penyelesaiannya. Ruwet. Yang akhirnya menonjol dan mudah ditangkap adalah pesannya yang gagal larut dalam cerita.

Sayang sekali, sebab pada film sebelumnya Hanung telah menebar janji dan harapan kepada kita para penikmat film.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar