Minggu, 24 April 2011

Gie: Representasi Berwajah Ganda I

Pendahuluan
Film Gie dibuat oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana pada tahun 2005, 35 tahun setelah Soe Hok Gie meninggal. Film ini meraih 3 piala Citra dari 12 nominasi, salah satunya sebagai film terbaik di FFI 2005. Film ini bercerita tentang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Tionghoa yang hidup di saat Indonesia sedang mengalami perubahan besar.
Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Soe Hok Gie, selanjutnya disingkat sebagai SHG saja, aktivis angkatan ’66. Dbuat dengan melibatkan lebih dari 2.500 pemain dan kru dan syuting di Jakarta, Semarang, Jogjakarta, kaki gunung Merapi, puncak Pangrango, dan lembah Mandalawangi.
SHG adalah wakil dari golongan menengah berpendidikan. Ia putra keempat dari seorang penulis dan redaktur berbagai surat kabar seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, dan masih banyak lagi. Ayahnya bernama Soe Lie Piet dengan nama lokal, Salam Sutrawan. SHG lahir 17 Desember 1942, ketika Jepang baru saja masuk ke Indonesia. Nama Soe Hok Gie berasal dari dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan, RRT.
Pada umur lima tahun, SHG masuk sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk warga keturunan Tionghoa. Ia lalu melanjutkan ke SMP Strada dan Kolese Kanisius Jakarta, yang merupakan salah satu sekolah terbaik dengan populasi siswa Tionghoa yang cukup besar[2].
Sejak kecil, SHG telah menunjukkan bakat sebagai anak yang cerdas, setia kawan dan memiliki sikap kritis. Hal ini sering menimbulkan situasi yang menyulitkan dirinya. Semasa menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan idealis.
Situasi politik saat itu membuat mahasiswa terbagi atas berbagai kelompok yang saling bentrok. Pada bulan September 1965, terjadi peristiwa G-30 S sebagai puncak pertentangan antara pihak militer dan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini diikuti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, jatuhnya Presiden Soekarno, dan pembubaran PKI yang diikuti pembantaian massal yang menimbulkan korban hingga lebih dari 1 juta orang.
SHG merasa sangat kecewa. Ia adalah mahasiswa yang turut berdemonstrasi menuntut pengunduran diri Soekarno, tetapi setelah Soekarno tidak lagi berkuasa, dan digantikan Soeharto, teman-temannya justru ikut bermain di panggung politik nasional. Ia kecewa karena ia merasa teman-temannya telah mengkhianati idealismenya. SHG tetap kritis dan menyampaikan kekritisannya baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisannya di media massa. Ia menjadi musuh bagi teman-temannya. SHG meninggal pada bulan Desember 1969 di puncak gunung Semeru dalam usia yang masih belia.[3]
Soal SARA
Film ini menarik karena mengetengahkan bukan saja ikon anak muda, tapi juga sosok cukup kontroversial dalam gerakan pemuda di Indonesia. Selain karena sikapnya yang konsisten, “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”, ia dikenal sebagai pemuda keturunan Tionghoa yang terjun ke gerakan dan politik praktis.
Film Gie sendiri merupakan film pertama generasi pasca-1998 yang mengangkat sosok sejarah yang pernah benar-benar ada dalam sejarah Indonesia. Tetapi lebih dari itu, film ini penting dicatat karena menghadirkan satu persoalan penting yang melingkupi wacana film Indonesia, yakni persoalan representasi etnis, terutama etnis Tionghoa dalam film Indonesia. Dalam film Indonesia, terutama masa Orde Baru, masalah ras dan representasi identitas baik yang berdasarkan suku, agama, dan ras, apalagi kelas adalah masalah yang pelik dan sensitif. Bukan hanya dalam kehidupan nyata tapi juga di media. Ada larangan untuk membicarakan SARA karena membicarakan SARA, termasuk di dalamnya persoalan kelas sosial bisa jadi subversif. SARA dan kelas sosial dianggap ancaman terhadap kesatuan nasional.
Tionghoa adalah persoalan kedua. Menjadi Tionghoa di Indonesia bisa merupakan persoalan yang benar-benar rumit. Meski memiliki banyak peran dalam perkembangan sejarah Indonesia, etnis Tionghoa dianggap minoritas dan ‘jahat’ secara ekonomi karena sejak masa kolonial mereka mendapatkan hak istimewa sebagai pedagang perantara antara kaum kolonial dan apa yang disebut bangsa pribumi.
Sebenarnya, setelah reformasi politik pada tahun 1998, Nia Dinata telah mulai menggarap dan menghadirkan sosok Tionghoa dalam filmnya, Cau Bau Kan (2001). Film yang juga menggunakan pendekatan sejarah ini, menceritakan tentang seorang perempuan Betawi yang menjadi istri seorang Tionghoa, Tan Peng Liang pada masa awal abad 20. Seluruh film Cau Bau Kan menceritakan tentang kehidupan kelompok-kelompok Tionghoa dan hubungannya dengan penduduk non-Tionghoa (sering disebut pribumi, seperti Jawa, Betawi, Sunda, dan sebagainya). Tetapi posisi film Gie menjadi pantas dibahas karena tidak seperti sosok Peng Liang yang pedagang / pebisnis tembakau, sebuah pekerjaan stereotip etnis Tionghoa, film Gie menghadirkan representasi yang sangat berbeda dari etnis Tionghoa kebanyakan. Di sinilah wacana representasi etnis dalam film Indonesia menjadi menarik. Gie sebagai teks sejarah maupun teks film menghadirkan dilema dan kontradiksi dalam soal representasi etnis tertentu dalam film.
Riri sendiri tidak mengakui bahwa film ini memiliki sentimen ras tertentu. Ia menjelaskan, “Film Gie adalah sebuah film yang berfokus pada seorang karakter yang pernah hidup di sebuah masa yang bisa dibilang paling penting dalam sejarah modern Indonesia, dan ia mencatat pergolakan pikiran, perasaan, dan situasi-situasi yang terjadi di sekelilingnya melalui sebuah catatan harian. Namun, sama sekali tidak ada unsur subversif maupun SARA di dalamnya.” Meski demikian, nanti kita akan melihat bahwa dalam hal representasi etnis, film Gie akan menduduki posisi yang sangat sentral.
Pembahasan representasi Tionghoa dalam sinema Indonesia mungkin bisa dibilang hal yang cukup baru. Meski dibangun dan dikembangkan oleh kaum Tionghoa, cerita atau tema (subject-matter) etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia relatif jarang diangkat. Soal representasi etnis pun dibahas terbatas, pada misalnya etnis Betawi yang merajai film-film dekade 1970-an (Si Doel anak Betawi, film-film yang dibintangi oleh Benyamin Suaeb, dan sebagainya). Namun sebelum bicara soal etnis ini, lebih dahulu bicara soal representasi.
Representasi
Stuart Hall, seorang pakar kajian budaya, mengajukan sebuah konsep untuk memahami tentang representasi. Secara singkat, representasi mengacu pada proses produksi makna melalui bahasa. Merepresentasikan berarti menggambarkan / mendeskripsikan sesuatu. Deskripsi ini hanya bisa terjadi di dalam bahasa, yakni melalui kata-kata yang digunakan. Kata-kata merepresentasikan konsep tentang sesuatu.[4] Dalam representasi ada 2 sistem yang bekerja. Pertama, sistem di mana semua obyek, manusia dan peristiwa saling berkorelasi membentuk satu konsep atau representasi mental. Tanpa konsep-konsep itu, kita tidak bisa menginterpretasi segala sesuatu di dunia. Jadi pemaknaan atas dunia sangat tergantung pada sistem konsep dan gambaran yang terbentuk/yang kita bawa.
Sistem ini juga mensyaratkan berbagai konsep mengorganisir, mengelompokkan, menyusun dan mengklasifikasi konsep-konsep yang telah kita miliki. Proses ini hanya bisa dilakukan apabila kita bisa saling mempertukarkan konsep dan pemaknaan. Dan kita hanya bisa melakukannya kalau kita memiliki akses pada bahasa yang sama. Di sinilah, bahasa merupakan sistem representasi kedua karena dengan bahasalah kita mengkonstruksi makna atas dunia.[5]
Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi. Singkatnya, citraan visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam proses representasi. Proses ini melibatkan pembuat film dan penontonnya.
Representasi selalu bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi sifat-sifat negatif (stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi, pemisahan. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari ‘mayoritas’ atau normal. Di sini, proses representasi membedakan ‘kita’ dan ‘mereka’, dengan ‘mereka’ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi.[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar