Minggu, 24 April 2011

Gie: Representasi Berwajah Ganda

Etnis Tionghoa dalam Film Indonesia
Kasus etnis Tionghoa merupakan gambaran sempurna dari analisis ini. Persoalan representasi dalam sinema Indonesia sebenarnya pernah disinggung oleh beberapa ahli, di antaranya Krishna Sen. Dalam bukunya Indonesian Cinema:Framing The New Order (London, 1994) ia menganalisis representasi kelas dan gender dalam sinema Indonesia. Ia terutama peduli pada bagaimana sinema nasional dibentuk oleh representasi kelas dan gender yang tak seimbang. Tetapi dalam hal representasi etnis, belum ada tulisan yang cukup rigid dan ilmiah yang mencoba menelusurinya. Hanya, ada satu-dua protes berkaitan dengan dominasi (etnis) Jawa dalam sinema Indonesia.
Dalam kasus film dengan latar etnis Tionghoa, selama masa awal diproduksinya film di Indonesia hingga tahun 1965, jumlah film yang menggunakan kasting / karakter dan poko soal (subject-matter) Tionghoa hanya mencapai 21 film. Jumlah ini semakin mengecil pada masa Orde Baru (1966-1998) yang hanya mencapai 9 film.[7] Meski demikian, peran pembuat film Tionghoa dan kru Tionghoa sudah mayoritas sejak medium film pertama kali dikenal di negeri ini. Tak mengherankan, film-film awal sejarah sinema Indonesia memiliki jumlah yang cukup banyak film berpokok soal Tionghoa, meski dari segi makro, ia tetap ‘minoritas’.
Dalam periode waktu 1926-1965, film-film tentang kehidupan orang Tionghoa atau dengan tokoh utama Tionghoa biasanya berasal dari cerita-cerita tradisional Tionghoa. Film Sam Pek Eng Tay (1931), misalnya, merupakan suatu tipikal film Tionghoa saat itu. Film-film Tionghoa yang diproduksi oleh kebanyakan juga orang Tionghoa yang bekerja dan tinggal di Indonesia banyak mengangkat kisah-kisah persilatan (kungfu) yang merupakan tradisi besar kaum Tionghoa yang dibawa ke daerah-daerah perantauan kaum ini.
Kaum diaspora banyak mengangkat pula persoalan-persoalan yang dihadapi secara internal oleh kaum Tionghoa. Meski demikian, tak satu pun film-film itu yang menyinggung masalah politik secara langsung. Selain silat / kungfu, film-film Tionghoa banyak mengangkat tema percintaan, kawin paksa, dan hal-hal semacam itu.[8] Hal ini tidak mengherankan karena meski dalam kondisi masyarakat kolonial, arus besar perfilman Hindia Belanda tetaplah film-film melodrama tiruan Hollywood yang menjual lagu-lagu, kisah percintaan serta bintang-bintang cantik dan ganteng.[9] Film-film seperati Gadis jang Terdjoeal (1937) dan film Oh Iboe (1938) mengangkat kisah-kisah warga Tionghoa yang terjebak dalam konflik rumah tangga.
Film-film yang telah disebut sangat berfokus pada kisah dan perikehidupan orang Tionghoa, tidak menampilkan interaksinya dengan apa yang disebut bangsa pribumi, apalagi kaum kolonial Belanda. Film Penjelundup (1952) adalah debut film yang berusaha meletakkan karakter Tionghoa di tengah konflik masyarakat di Indonesia. Meski demikian, karakter Tionghoa di film ini menjadi antagonis yang tidak memiliki karakter sentral.
Tema yang sedikit berbeda diangkat oleh film Dibalik Awan (1963). Film buatan sutradara Fred Young ini menggunakan bintang-bintang terkenal saat itu, seperti Bambang Irawan, Nani Widjaja dan Sofia Waldi. Film ini sendiri bercerita tentang Ah Tjang dan anaknya, Gwat Lie yang menolong seorang pejuang bernama Ismono. Di sini, peranan Tionghoa dalam perang kemerdekaan mulai ditampilkan dalam film.
Setelah tahun 1966, representasi suku Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil. Representasi etnis, apalagi Tionghoa merupakan hal yang sangat sensitif di Indonesia. Film pertama masa Orde Baru yang dengan terbuka mengangkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan (1971). Film yang disutradarai oleh Andjar Subijanto ini menggunakan tema asimilasi sebagai pokok soalnya. Tema perbedaan ras antara Fanny yang Tionghoa kaya dan Sahid yang pribumi miskin dijadikan landasan bagi kisah Romeo-Juliet yang berakhir tidak menyenangkan. Film ini mengambil rangka waktu sejak sebelum kemerdekaan. Film yang dibalut sebagai drama nyata-nyata kemudian akan menjadi propaganda tentang proses asimilasi etnis Tionghoa.
Tema serupa diangkat oleh John Tjasmadi yang menyutradarai film Kisah Cinta (1976). Film ini, seperti mengulang film Dibalik Awan, menyajikan peranan etnis Tionghoa dalam perang kemerdekaan. Peranan ini diintegrasikan dalam proses asimilasi, yakni perkawinan antara Tan Cong Ham dan Kusmiyati. Tema serupa diangkat lagi dalam film Mustika Ibu (1976).
Tema percintaan kaum Tionghoa dan pemuda-pemudi pribumi agaknya memang populer di kalangan pembuat film waktu itu. Tahun 1980, sutradara Maman Firmansjah kembali mengangkat kisah platonik keluarga Han Liong Swie ke layar lebar. Kisah ini diberi judul Putri Giok. Perubahan tema baru terjadi pada tahun 1989, ketika sutradara Tjut Djalil memproduksi film Menumpas Petualang Cinta. Film yang diproduksi oleh PT Virgo Putra Film yang dimiliki seorang pengusaha keturunan Tionghoa, berkisah tentang penculikan seorang gadis Tionghoa, Lingling oleh Jaka, seorang pribumi. Dalam film ini, salah satu karakter utama Tionghoa, Tuan tanah Po Seng digambarkan sebagai tuan tanah jahat yang sewenang-wenang.
Sesudah Reformasi
Dalam Cau Bau Kan, film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998, orang Tionghoa digambarkan sebagai kaum yang berperan dalam kemerdekaaan Indonesia. Penggarapan karakter dalam film ini tidak hitam putih. Film terakhir yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal adalah film Berbagi Suami (2005) juga karya sutradara Nia Dinata. Representasi Tionghoa dalam film ini dimasukkan dalam subyek tema yang lebih besar, yakni poligami.
Di sinilah, arti penting film Gie terlihat. Gie, seperti yang dikatakan oleh para pembuatnya, bukanlah film tentang seorang pemuda Tionghoa. Ia lebih dilihat sebagai pemuda Indonesia yang benar-benar Indonesia, yang membela negaranya dan memiliki kontribusi besar bagi bangsanya, meski ia seorang Tionghoa.[10]
Kata “meski” sebenarnya membawa kita pada diskursus yang lebih panjang dan historis tentang representasi Tionghoa dalam media sinema, dan yang justru paling serius, posisi etnis Tionghoa dalam nation (bangsa) Indonesia.
Dalam pembukaan film sendiri, Riri Riza memberi teks yang memberi penonton orientasi pada kondisi sosial-politik saat itu. Di bagian akhir teks, sang sutradara menulis,
“Soe Hok Gie adalah pemuda keturunan Cina yang tumbuh dalam pergolakan ini dan merekamnya dalam catatan harian.” (garis bawah dari penulis)
Mengapa Riri Riza harus menggunakan frase ‘pemuda keturunan Cina’? Mengapa tokoh lain, seperti Aristides Katoppo, tidak disebutkan sebagai ‘pemuda keturunan Flores’? Atau Jaka, sebagai ‘pemuda keturunan Sunda’? Apa arti Cina (Tionghoa) dan ke-Cina-an di sini? Pertanyaan besar tentang apa arti menjadi Cina tak bisa terjawab begitu saja dari film ini. Apa arti Cina/Tionghoa dalam masyarakat Indonesia? Mengapa Cina/Tionghoa selalu berkonotasi tertentu?
Dalam hampir seluruh elemen naratif film Gie, hanya ada beberapa adegan yang secara eksplisit merujuk posisi SHG sebagai keturunan Tionghoa. Adegan di sekitar menit ke-70 ketika SHG berdialog dengan kakaknya, Arif Budiman (Soe Hok Djin), misalnya. Scene ini menampilkan inisiatif kakaknya mengganti nama Tionghoanya dengan nama yang ‘lebih Indonesia’. Adegan ini merupakan satu-satunya adegan yang secara jelas merujuk identitas keluarga SHG sebagai keturunan Tionghoa. Sementara di sebagian besar film, ke-Cina-an (ke-Tionghoa-an) SHG ditampilkan secara visual dalam bentuk yang lebih implisit.
Gie: Representasi Posiif?
Berbeda dengan kondisi sosial politik Indonesia yang menganggap etnis Tionghoa sebagai etnis yang oportunis dan tidak memiliki afiliasi politik yang jelas [11], film Gie justru menampilkan sosok SHG yang sangat idealis dan memiliki garis / sikap politik sangat jelas.
Dalam adegan pembuka, ketika SHG membaca buku biografi Soekarno, teman-temannya mengganggu pemuda-pemuda yang menulis kata ‘REVOLUSI’. Seluruh teman-teman SHG, bukan kebetulan, adalah beretnis Tionghoa. Hal ini dicirikan dengan gambaran anak-anak yang hampir semuanya berkulit putih dan bermata sipit.
Adegan ini diambil dengan posisi SHG di pinggir bingkai (frame). Dalam adegan-adegan di seluruh film, SHG sendiri jarang sekali diambil dalam posisi di tengah bingkai. Ia selalu ditempatkan di pinggir kiri atau kanan, dengan hampir seluruh pengadeganan menggunakan medium close-up. Pembuat film ini bisa dibilang sangat sedikit menampilkan close-up wajah SHG. Ada satu adegan di mana SHG berada di pusat bingkai, yakni ketika SHG berada di tengah-tengah para pendukung PKI (menit ke-25.34). Ketika itu, SHG menumpang sebuah truk dengan kanan dan kirinya adalah ‘orang-orang pribumi’ yang mengibar-ngibarkan bendera Palu Arit. Dan ia tampak tidak nyaman berada di sana.
Meski sering ditempatkan di pinggir bingkai (frame), SHG selalu ditampilkan dalam konteks. Ia ditempatkan di tengah mise en scene dan tampak tidak menonjol / dominan. Dalam adegan-adegan tanpa dialog, SHG biasanya digambarkan berjalan sendirian, tanpa interaksi dengan lingkungan. Dalam adegan-adegan di mana ia satu-satunya figur yang muncul dalam mise en scene, ia selalu ditampilkan sebagai seorang pembicara, hampir sebagai pedagogis (pendidik) di mana orang-orang di sekitarnya terdiam dan mendengarkannya. Atau dalam banyak adegan yang juga muncul, SHG selalu diperlihatkan sedang membaca buku. Dalam adegan membaca buku ini, kehadiran orang lain dan konteks lain tidak lagi menjadi penting.
Riri dan Mira memberi pernyataan bahwa SHG ingin pula ditampilkan sebagai sosok yang manusiawi, yang juga suka kumpul-kumpul dan bergaul. Tetapi dalam kondisi kumpul-kumpul dan bersenang-senang dengan teman-temannya, SHG tetap kelihatan sendiri dan menyedihkan.
Dalam konteks ini, sifat keras kepala dan idealisme SHG menjadi sangat menonjol. Pembuat film ini berhasil menampilkan sosok SHG yang tidak mau berkompromi dengan lingkungan. Pada beberapa syut awal, ketika anak-anak Tionghoa digambarkan sebagai pengganggu ‘perjuangan revolusi’ Indonesia, Riri Riza kemudian mencirikan SHG dengan aksesnya pada pengetahuan. Di sini, sosok SHG sebagai Tionghoa selalu ditekan sedemikian rupa untuk tidak menonjol. Tionghoa selalu ditempatkan dalam konteks mise en scene yang lebih luas. Berbeda dengan film Menumpas Petualang Cinta, Tionghoa tidak ditampilkan secara ofensif sebagai jahat dan menindas. Meski demikian, Tionghoa masih dianggap ambigu dalam hal posisinya terhadap perjuangan dan ‘revolusi nasional’.
Dalam beberapa hal, intelektual Tionghoa, seperti juga SHG ditampilkan sangat kritis terhadap kepemimpinan nasional yang sangat ‘Jawa’. Dalam tahap tertentu, kekritisan itu sampai pada tingkat pengutukan. Tetapi seperti juga ayah Shanti, salah satu karakter dalam film ini, kritisisme dan juga politik adalah salah satu hal yang dihargai warga Tionghoa. Meski ketika diminta terjun langsung, mereka masih berpikir panjang karena risiko politis yang mesti ditanggungnya.
Film ini tidak menonjolkan SHG dalam hal kehidupan pribadi dan ini berarti penghilangan identitas personal SHG sebagai Tionghoa. Film ini juga lebih memperlihatkan SHG sebagai seorang pemuda romantis yang putus asa. ‘Presentasi’ SHG lebih menonjolkan pada segi intelektualitas dan emosi personalnya, tanpa kedekatan subyek via close-up, seperti yang dikatakan Riri Riza, ditujukan untuk menampilkan SHG sebagai manusia biasa. Ia ingin menampilkan SHG secara lebih manusiawi[12] , termasuk di dalamnya keluarga SHG. Keluarga SHG ditampilkan sebagai keluarga yang biasa saja, tidak menonjol.
Representasi SHG yang demikian, mau tak mau, meluruhkan identitasnya sebagai Tionghoa. “Gie tidak pernah merasa dirinya berbeda dengan orang lain, “jelas Riri. Ungkapan Riri ini tak pelak bertepatan benar dengan sikap Soe Hok Gie menghadapi persoalan etnis Tionghoa dalam hubungannya dengan integrasi bangsa Indonesia.
Peluruhan identitas Tionghoa SHG ini digunakan untuk menonjolkan sosoknya sebagai vokalis paling kritis terhadap kekuasaan Orde Lama, dan kemudian juga Orde Baru. Riri Riza justru membentuk dan mengembangkan karakter SHG dari ‘kuasa pembacaan’ yang dilakukannya. SHG ditampilkan sebagai kelas menengah intelektual, yang seperti kelas menengah Indonesia pada umumnya, relatif steril dan berjarak dengan ‘realitas sosial’. Selain banyaknya adegan SHG membaca buku, sudut pandang (point of view) SHG sangat mewakili semangat ‘borjuis intelektual’. Adegan Gie membaca berbagai buku, mulai dari Biografi Soekarno, Mahatma Gandhi, Orang Asing-nya Albert Camus, atau Senja di Jakarta-nya Mochtar Lubis merepresentasikan pengetahuan yang dimilikinya dan pengetahuan adalah kekuasaan.[13] Tak heran, pengetahuan yang dimiliki kelas menengah, dalam film ini adalah obor dan sumber pengajaran menuju ‘jalan yang benar’. SHG, seperti juga kelas intelektual, diharapkan dan direpresentasikan untuk mengajar, untuk berpidato, untuk berbicara banyak dan menjadi agen bagi aspirasi golongan bawah.
Penggambaran aktivitas SHG naik gunung juga merupakan elemen integral dalam pembentukan karakternya sebagai ‘borjuis intelektual’ (kelas menengah). Dilandasi oleh pemikiran romantik untuk bersahabat dengan alam, kegiatan seperti naik gunung merupakan impuls untuk mengontrol alam dengan ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Semangat-semangat ini merupakan jalan menuju modernisasi, industrialisasi dan pula, kamp konsentrasi. Demokrasi, persamaan, dan liberalisme adalah ide-ide modernitas yang bukan secara kebetulan dibawa SHG. Di sinilah, apa yang disebut pengetahuan sebagai perspektif muncul ke permukaan.
Dalam ide tentang borjuis intelektual ini pula, ide SHG tentang masyarakat yang jujur dan adil beririsan dengan ide Riri untuk menghadirkan ‘sosok manusia baru yang pejuang, cerdas, dan berani.” Menarik menyimak pernyataan Mira Lesmana tentang film Gie. Ia mengatakan bahwa ide untuk membuat film tentang SHG sudah datang sejak tahun 2000. Ide ini datang karena ia secara personal adalah pengagum SHG. Baginya, SHG adalah sosok pahlawan, “yang membela orang yang lemah.” Gie adalah sosok yang cerdas, romantis dan angkuh.[14]
Bagi Mira, membuat film tentang SHG penting karena sosok ini penting bagi masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. SHG adalah sosok anak muda yang berani mengambil sikap. Menurutnya, SHG adalah saksi penting bagi sebuah sejarah yang sampai sekarang masih buram. Mira berharap, generasi muda yang menonton film ini melihat betapa pentingnya memiliki sikap dan kejujuran seperti SHG.
“Setiap manusia punya hati nurani yang kadang-kadang dengan segala permasalahan hidup, ia tidak bicara lagi pada kita. Sosok Gie ibarat lonceng yang mengingatkan kita saat terjadi sesuatu yang salah. Lebih jauh lagi, ada elemen-elemen kemanusiaan yang mungkin kita lupakan dan ini bisa kita temukan dalam film Gie,” tutur Mira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar