"Apakah manusia
dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan
dari kenikmatan surga?"
Jika kita memiliki sebuah
keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun
ternyata Yang Maha Kuasa tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut,
apakah lantas kita berhak untuk 'mencaci' Dia ?
Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?
Seorang teman beberapa saat
lalu menerima kenyataan bahwa karir dan cintanya hancur dalam waktu bersamaan .
Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan
yang pertama masalah cintanya. Rekan saya tersebut telah empat kali menjalani penjajakan. Dan
yang kedua, untuk keempat
kalinya, dia menjalani itu hingga ke tahap-tahap akhir. Akhirnya gagal, hanya karena alasan tak
jelas dari pasangannya tersebut. Yang menyakitkan, setiap tekad dia melupakan
mantan pasangan penjajakan nya itu dan sudah siap dengan jiwa baru, apa
lacur...mantan pasangannya pun meminta berdamai dan menyesali dengan alasan
yang sesungguhnya masih bisa diterima, bahkan menganggap teman saya itu sebagai
pasangan yang selayaknya tidak untuk dilepaskan. Tapi, yah apa daya temanku,
dia telah mematikan rasa tersebut. Parahnya, terakhir kejadian juga berefek
dengan pekerjaannya yang membuat dia memutuskan harus resign dari perusahaan
bergengsi yang merupakan impiannya.
Dari teman saya itu saya
belajar banyak hal, namun satu yang begitu mengena pada saya, bahwa pada suatu
saat kita perlu berdamai dengan takdir.
Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang
terjadi pada diri kita.
Kegagalan teman saya dalam
masalahnya itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu atau layak. Kembali
memintanya dan begitu menyesali mengapa telah meninggalkan teman saya. Tapi
sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.
Inilah yang saya katakan
pada teman saya tersebut. Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam
itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah
pecundang.
Sampai hari ini, saya masih
menyimpan impian untuk bisa kuliah di Biologi. Sungguh, saya masih menyimpan
impian untuk menjadi Ahli tanaman dan kesehatan sebagaimana dari awal saya
sekolah di MA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian
saya 'tersesat' ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya
maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha
untuk 'berdamai' dengan-Nya atas apa yang DIAtentukan pada saya.
Saya tidak boleh menganggap
takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi
atas setiap makhluk. Allah memiliki
rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau
tidak.
Saat saya terantuk
kegagalan, yang saya lakukan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri
kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali
sebuah impian.
Hidup bukanlah kegagalan
sepanjang kita berusaha.
Begitulah dengan
kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang 'tidak
berguna,' sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada
kita tentang kematangan, konsep persaingan... atau barangkali Allah tengah
menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan.
Kegagalan membuat kita
semakin mengimani takdir.
Belajar berdamai dengan
takdir, menerima kegagalan yang 'dikaruniakan' Allah kepada kita adalah seperti
kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan
ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah
'ijazah' kesuksesan, tetapi 'proses' dan 'menjadi.'
Konon, seorang penulis
terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima
alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling
baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di
komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak
berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat
alenea itu?
Silakan Anda menjawab
sendiri.
Hidup bukanlah kekalahan
sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam
penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita
menemui kegagalan dalam hidup.
"Bekerjalah kamu, maka
Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu
10.28 pm, 160714
Thursday, night,
rumahsurga
iftiyata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar