Rabu, 16 Juli 2014

Berdamai dengan Takdir




"Apakah manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan?  Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?"

Jika kita memiliki sebuah keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun ternyata Yang Maha Kuasa tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut, apakah lantas kita berhak untuk 'mencaci' Dia ?  Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?

Seorang teman beberapa saat lalu menerima kenyataan bahwa karir dan cintanya hancur dalam waktu bersamaan . Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yang pertama masalah cintanya. Rekan saya tersebut telah empat kali menjalani penjajakan. Dan yang kedua, untuk keempat
kalinya, dia menjalani itu hingga ke tahap-tahap akhir. Akhirnya gagal, hanya karena alasan tak jelas dari pasangannya tersebut. Yang menyakitkan, setiap tekad dia melupakan mantan pasangan penjajakan nya itu dan sudah siap dengan jiwa baru, apa lacur...mantan pasangannya pun meminta berdamai dan menyesali dengan alasan yang sesungguhnya masih bisa diterima, bahkan menganggap teman saya itu sebagai pasangan yang selayaknya tidak untuk dilepaskan. Tapi, yah apa daya temanku, dia telah mematikan rasa tersebut. Parahnya, terakhir kejadian juga berefek dengan pekerjaannya yang membuat dia memutuskan harus resign dari perusahaan bergengsi yang merupakan impiannya.

Dari teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu mengena pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir.  Kita harus belajar memaafkan diri sendiri.  Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang terjadi pada diri kita.

Kegagalan teman saya dalam masalahnya itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu atau layak. Kembali memintanya dan begitu menyesali mengapa telah meninggalkan teman saya. Tapi sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.

Inilah yang saya katakan pada teman saya tersebut. Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.

Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Biologi. Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi Ahli tanaman dan kesehatan sebagaimana dari awal saya sekolah di MA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya 'tersesat' ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi.  Dalam hal ini, saya berusaha untuk 'berdamai' dengan-Nya atas apa yang DIAtentukan pada saya.

Saya tidak boleh menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk.  Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.

Saat saya terantuk kegagalan, yang saya lakukan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.

Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha.

Begitulah dengan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang 'tidak berguna,' sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada kita tentang kematangan, konsep persaingan... atau barangkali Allah tengah menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan.

Kegagalan membuat kita semakin mengimani takdir.

Belajar berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yang 'dikaruniakan' Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah 'ijazah' kesuksesan, tetapi 'proses' dan 'menjadi.'

Konon, seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alenea itu?
Silakan Anda menjawab sendiri.

Hidup bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu


10.28 pm, 160714
Thursday, night,
rumahsurga
iftiyata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar